Senin, 30 September 2013
Rabu, 25 September 2013
KAMPOENG BATIK LAWEYAN, SEJARAH YANG TAK PERNAH PADAM
Laweyan, sebuah daerah di Kotamadya Surakarta, Jawa Tengah adalah sebuah wilayah yang membentang di bagian barat Kota Solo, demikian orang sering menyebut seluas lebih kurang 24 hektar.
Laweyan menyimpan sejarah yang panjang untuk sebuah daerah, lebih panjang apabila dibandingkan dengan kelahiran kota Solo sendiri, karena daerah Laweyan sudah ada sejak jaman Kesultanan Pajang sekitar tahun1568-1586 yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya.
Daerah Laweyan dahulu kala menjadi tempat tinggal Kyai Ageng Henis, yang menjadi kakek moyang Sultan Hadiwijaya, Raja Kesultanan Pajang.
Laweyan adalah pusat ekonomi pada masa Kesultanan Pajang, dimana di daerah ini terdapat sungai yang menjadi lalu lintas perdagangan lawe (benang) dan kain-kain. Konon katanya, karena menjadi pusat perdagangan lawe inilah, maka nama Laweyan berasal.
Laweyan adalah wilayah tua, dan saat ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Banyak tempat - tempat bersejarah, yang sayang dilewatkan untuk dikunjungi apabila Anda sedang berada di Laweyan, yang sekarang lebih populer disebut Kampoeng Batik Laweyan.
Yang pertama tentu saja adalah Masjid Laweyan. Masjid Laweyan ini adalah masjid tertua yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Masjid Laweyan dulu adalah bekas Pura tempat pemujaan umat Hindu. Karena dengan adanya Kyai Ageng Henis yang memeluk agama Islam dan penduduk sekitar sudah mulai memeluk agama Islam, maka pura ini kemudian berubah menjadi Masjid. Karena demikian berpengaruhnya Kyai Ageng Henis di daerah ini maka pada saat beliau wafat, beliau dimakamkan di areal Kompleks Masjid Laweyan ini. Nama daerah Belukan dimana Masjid Laweyan ini berada, berasal dari kata "peluk/beluk" yang dalam bahasa Jawa berarti "asap", konon, karena daerah ini adalah tempat tinggal para juru masak Kesultanan Pajang, yang apabila memasak mengeluarkan "peluk/beluk" atau asap dari pembuatan masakan. Lama kelamaan daerah ini menjadi daerah Belukan.
Yang kedua adalah bekas Bandar Kabanaran. Dahulu sebelah selatan kampung Laweyan terdapat sungai yang lebar dan luas yang dahulunya dipakai sebagai lalu lintas perdagangan beberapa daerah di sekitar Surakarta.Sarana yang digunakan adalah perahu tradisional atau getek yang terbuat dari batang-batang bambu yang disusun dan diikat. Saat ini keberadaan Sungai ini menjadi menyempit akibat pendangkalan dan polusi.. Daerah sekitar sungai ini kemudian menjadi daerah Banaran.
Tempat wisata ketiga adalah rumah-rumah kuno yang tersebar diseluruh penjuru Kampoeng Batik Laweyan. Kampoeng Laweyan adalah daerah yang unik dan memiliki gang-gang sempit dan berkelok-kelok dengan tembok-tembok tinggi menjulang di samping kiri dan kanan gang. Rumah-rumah kuno ini memiliki tembok yang tinggi dengan maksud untuk melindungi harta benda pemilik rumah dari pandangan orang luar. Rumah gedongan dengan pagar tembok yang tinggi, menurut Soedarmnono, sejarawan dari Universitas Sebelas Maret Solo(UNS Solo), merupakan simbol status, identitas sosial pemiliknya. Para Saudagar Laweyan sebagai orang Jawa telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, sesuai falsafah orang Jawa, yaitu "DRAJAT" (status), "SEMAT" (kekayaan), dan "PANGKAT" (kedudukan), demikian disebutkan oleh Soedarmono dalam thesis S-2 nya di UNS.
Keempat adalah wisata kuliner. Jajanan atau snack tradisional yang terkenal dari Kampoeng Laweyan adalah Apem dan Ledre. Rasa Apem yang manis gurih dan rasa ledre yang legit sayang sekali untuk dilewatkan apabila Anda berkunjung ke Kampoeng Batik Laweyan.
Dan yang terutama adalah wisata belanja batik sambil menikmati dan berjalan di seputaran Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.
Laweyan menyimpan sejarah yang panjang untuk sebuah daerah, lebih panjang apabila dibandingkan dengan kelahiran kota Solo sendiri, karena daerah Laweyan sudah ada sejak jaman Kesultanan Pajang sekitar tahun1568-1586 yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya.
Daerah Laweyan dahulu kala menjadi tempat tinggal Kyai Ageng Henis, yang menjadi kakek moyang Sultan Hadiwijaya, Raja Kesultanan Pajang.
Laweyan adalah pusat ekonomi pada masa Kesultanan Pajang, dimana di daerah ini terdapat sungai yang menjadi lalu lintas perdagangan lawe (benang) dan kain-kain. Konon katanya, karena menjadi pusat perdagangan lawe inilah, maka nama Laweyan berasal.
Laweyan adalah wilayah tua, dan saat ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Banyak tempat - tempat bersejarah, yang sayang dilewatkan untuk dikunjungi apabila Anda sedang berada di Laweyan, yang sekarang lebih populer disebut Kampoeng Batik Laweyan.
Yang pertama tentu saja adalah Masjid Laweyan. Masjid Laweyan ini adalah masjid tertua yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Masjid Laweyan dulu adalah bekas Pura tempat pemujaan umat Hindu. Karena dengan adanya Kyai Ageng Henis yang memeluk agama Islam dan penduduk sekitar sudah mulai memeluk agama Islam, maka pura ini kemudian berubah menjadi Masjid. Karena demikian berpengaruhnya Kyai Ageng Henis di daerah ini maka pada saat beliau wafat, beliau dimakamkan di areal Kompleks Masjid Laweyan ini. Nama daerah Belukan dimana Masjid Laweyan ini berada, berasal dari kata "peluk/beluk" yang dalam bahasa Jawa berarti "asap", konon, karena daerah ini adalah tempat tinggal para juru masak Kesultanan Pajang, yang apabila memasak mengeluarkan "peluk/beluk" atau asap dari pembuatan masakan. Lama kelamaan daerah ini menjadi daerah Belukan.
Yang kedua adalah bekas Bandar Kabanaran. Dahulu sebelah selatan kampung Laweyan terdapat sungai yang lebar dan luas yang dahulunya dipakai sebagai lalu lintas perdagangan beberapa daerah di sekitar Surakarta.Sarana yang digunakan adalah perahu tradisional atau getek yang terbuat dari batang-batang bambu yang disusun dan diikat. Saat ini keberadaan Sungai ini menjadi menyempit akibat pendangkalan dan polusi.. Daerah sekitar sungai ini kemudian menjadi daerah Banaran.
Tempat wisata ketiga adalah rumah-rumah kuno yang tersebar diseluruh penjuru Kampoeng Batik Laweyan. Kampoeng Laweyan adalah daerah yang unik dan memiliki gang-gang sempit dan berkelok-kelok dengan tembok-tembok tinggi menjulang di samping kiri dan kanan gang. Rumah-rumah kuno ini memiliki tembok yang tinggi dengan maksud untuk melindungi harta benda pemilik rumah dari pandangan orang luar. Rumah gedongan dengan pagar tembok yang tinggi, menurut Soedarmnono, sejarawan dari Universitas Sebelas Maret Solo(UNS Solo), merupakan simbol status, identitas sosial pemiliknya. Para Saudagar Laweyan sebagai orang Jawa telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, sesuai falsafah orang Jawa, yaitu "DRAJAT" (status), "SEMAT" (kekayaan), dan "PANGKAT" (kedudukan), demikian disebutkan oleh Soedarmono dalam thesis S-2 nya di UNS.
Keempat adalah wisata kuliner. Jajanan atau snack tradisional yang terkenal dari Kampoeng Laweyan adalah Apem dan Ledre. Rasa Apem yang manis gurih dan rasa ledre yang legit sayang sekali untuk dilewatkan apabila Anda berkunjung ke Kampoeng Batik Laweyan.
Dan yang terutama adalah wisata belanja batik sambil menikmati dan berjalan di seputaran Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.
Rabu, 18 September 2013
Senin, 16 September 2013
Langganan:
Postingan (Atom)